Hilya Diobati Bapak

Hilya bersama Latief
Bapak sering datang dalam mimpi menemui putra-putrinya yang masih yatim. Pada Senin malam, 18 Juni 2013 lalu, Hilya bercerita kalau bertemu bapak dalam mimpi. Ia melihat Bapak memberikan cepet (ikat rambut) hitam kecil kepada Ibu dan meminta agar cepet itu diberikan Ibu kepada Hilya. 

Setelah bangun tidur dari mimpi, pagi itu juga Hilya sembuh dari penyakitnya selama tiga hari. Demam tinggi. Ternyata, Bapak masih memerhatikan anak-anaknya. Bapak datang memberikan obat.

Saya tanya kepada teman yang bisa komunikasi dengan orang yang sudah meninggal. Apakah Bapak memang datang memberikan obat atau itu disebut halusinasi menurut psikologi? Dia menjawab kalau Hilya sebetulnya hanya kangen secara batiniyah kepada Bapak. Akhirnya mewujud dalam mimpi. Kesinambungan batiniyyah kepada orang tua, secara psikologis pun akan membuat anak menemukan solusi atas masalah yang dihadapi.  

Do’akanlah orang tua yang sudah meninggal. Mereka akan mendengar dan menerima manfaat do’a selama hak-hak kemanusiaan amal di dunia telah selesai ditunaikan.

Santunan Yatim Se-Desa Ngabul

Ada 94 anak Yatim (kini sudah 99), termasuk ke-lima adik saya (Hilya, Malik, Salam, Aziz dan Latif) yang pada Selasa siang itu (4/6/2013) diberikan santunan oleh istri pengusaha Mebel sukses asal Denmark (Leken) bertempat di Desa Ngabul, Kecamatan, Tahunan, Jepara, yakni Hj. Ismiyati, beserta putrinya yang cantik dan gemuk (saya tidak tahu namanya).

Bertempat di Mushalla dekat sebuah gudang Mebel, Ngabul dukuh Nggundelan (saya tanyakan panitia tak ada yang tahu nama Mushalla-nya), ke 94 anak yatim Se-Desa Ngabul itu dipanggil satu-persatu namanya oleh Ketua Ormas Nahdlatul Ulama’ (NU) Ranting Ngabul, Nurckholis Jauhari M.Pd,  diminta ke depan untuk mengambil uang santunan senilai Rp. 50 ribu per orang. Ismiyati keliling mengelus kepala masing-masing anak yatim, sementara putrinya membagikan amplop warna putih. Saya sempat nggregel terharu melihatnya, mengingat Bapak yang masih punya yatim 5 anak dengan saya sebagai kakak pertama. 

Kata Nurkholis, ini baru pertama kali diadakan selain di Bulan Sya’ban dan Muharrom. “Ini kita hanya fasilitator dari Bu Ismiyati. Dia donator santunan, saya membantu mengumpulkan anak-anak yatim sesuai data yang dimiliki NU Ngabul,” ujarnya.

Menurut sesepuh desa, H. Kuri, agenda santunan ini akan diadakan setiap bulan, dengan donatur tetap Bu Ismiyati, dan tentu akan bertambah setiap bulan. “Walau hanya Rp. 50 ribu, itu cukup buat beli krupuk satu kresek loh,” katanya bercanda. Benar juga, dalam santunan itu ternyata donatur paling sedikit mengeluarkan dana Rp. 4.700.000,- (Rp. 50.000 x 94). Lumayan kan. Itu belum snak dan ratusan berkatan yang disediakan untuk para orang tua dan anak. Serta bisyaroh (uang terimakasih) para sesepuh yang hadir.

Bila Anda ingin jadi donatur pribadi di NU Ngabul, silakan. Tapi saya bilang, demi memenuhi unsur kepantasan, harus butuh 6 jutaan paling tidak. Saya bisa fasilitasi. Terutama yang mau menginfaqkan dananya untuk adik-adik yatim kecil saya, berapa pun, akan kami terima. Dan sebagai ucapan terima kasih, akan kami kirim sebuah bingkisan karya adik-adik saya, bisa berupa perhiasan monel, atau kerajinan kain flanel. Berapa pun, akan sangat membantu para adik-adik satria saya. Walau secara materi barangkali kai rugi mengirimkan bingkisan itu.

Terimaksih Pak NU Ngabul dan Bu Hj. Ismiyati Leken! Ini yang bisa saya lakukan untuk membalas kebaikan Anda kepada anak yatim seperti adik saya. Good bless you!

Suara itu Bilang: Secukupnya Saja, Bu!

Almarhum Bapak
Selasa siang, 4 Juni 2013, tiba-tiba saja Ibu menceritakan hal yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Seperti tergesa, dan ingin selesai bicara, namun tercekat oleh keheranan dan ketidakpercayaan atas apa yang baru saja dialami.

Ibu bercerita kalau tidurnya Selasa siang itu adalah tidur yang memberkahi, barangkali. Apa pasal? Dalam keadaan setengah sadar dari tidur, Ibu mendengar suara Bapak, sangat jelas terdengar di telinga: “Nek dodol an sacukupe wae, Bu!/ Kalau niat jualan, secukupnya saja, Ma.

Ibu bergegas mengambil air wudlu, dan Shalat Dluhur. Keget. Secara, tadi pagi Ibu barusan ngitung luas tanah harta patunggaeng (gono-gini) tinggalan Bapak yang hendak dijual. Atas ijin rembug dengan saya tentu. Ibu kurang paham soal jual-beli tanah dan property. Baru jualan pertama kali karena terpaksa. Ya kali ini.  

Selasa pagi (4/6), saya sempat ke tanah yang hendak dijual itu, bersama Ibu. Cuma terjadi kebingungan apakah nanti akan menjual utuh atau separo. Kalau dijual utuh, luas tanahnya (LT) ada 2060 m2 (LD: 25,75 m2 dan LB: 80 m2) dalam bentuk pekarangan semua (tanaman: durian dan kayu jati). Mau dijual berapa, juga bingung. Ibu ingin berangkat  haji, karena sejak menikah dengan Bapak, keinginan ibadah haji belum tersampaikan, padahal Bapak sudah tiga kali pergi haji (1993, 1996, dan 2000). Dua haji terakhir diberangkatkan rombongan kloter karena diminta jadi pembimbing haji di Makkah. Ibu tak pernah diajak, karena tahu, biaya haji bukan dari kelebihan kekayaan Bapak. Kecuali yang pertama (1993),yang terjadi karena Si Mbah (Nenek), keroyo-royo pengen naik haji secepatanya.

Kini, setelah Bapak meninggal, niat ingin berangkat ke Baitullah hampir menemui cita. Tanah itu harapannya. Kalau dijual setengah (LT: 1040 [LD: 13 x LB: 80]), maka hanya akan mendapatkan uang Rp. 57.200.000,- mengikuti harga tanah sebelah yang dijual laku Rp. 40.000.000,- pada tiga tahun lalu (2010) dengan luas 720 m2. Artinya, kala itu, harga tanah tersebut Rp. 55.000,-/m2. Dalam teori ilmu property, tanah akan mengalami kenaikan harga 10% per tahun. Jika dijual, tanah sebelah yang dulu masih milik saudara itu sekarang harganya mencapai angka Rp. 72.000,-/m2, naik 10 persen. Bila mengikuti asas dasar ini, tanah saya seluas 1040 m2 bisa dapat uang Rp. 74.880.000,-.  Angka yang cukup besar sebetulnya, namun untuk nyaur utang Bapak, yang pada malam sebelumnya sudah kami hitung bersama Ibu dan adik, tidak cukup. Utang Bapak ada Rp. 68 juta, cukup menutupilah hasil jualnya. Tapi bagaimana dengan biaya sertifikat tanah, bagi waris kepada adik-adik saya, dan tentu, nasib cita Ibu naik haji? Rumit.

Saya masih ragu dengan harga tanah yang semurah itu, di dekat pabrik soalnya. Rame. Akhirnya, saya minta Ibu untuk mencari tahu siapa tetangga yang dalam tempo tak lama ini, menjual tanahnya. Yang berdekatan dengan lokasi tanah tinggaln Bapak-Ibu. Ternyata ada tetangga yang setahun lalu menjual tanahnya laku Rp. 50 juta/ 420 m2. Artinya, harga per meter tanah tahun lalu adalah Rp. 120.000,-. Harusnya, kalau harga itu saya naikkan 10 persen, paling tidak dapat harga Rp. 132.000,-/m2. Bila angka itu dikalikan 1040 m2 luas tanah Ibu, maka totalnya Rp. 137.280.000,-. Jumlah inilah yang diinginkan Ibu agar dodolan tanah bisa dirasakan bersama dan mendapatkan tujuan kebaikan keluarga, bersama-sama.

Kebingungan mengikuti harga tanah besebelahan yang jauh selisihnya itulah yang membuat Ibu eman-eman melepas tanah milik satu-satunya. Saya bilang ke Ibu: kalau Ibu pengen melunasi hutang-hutang Bapak saja, bisa jual separo (Bila mengikuti harga tahun 2010). Tapi akan beda kasus kalau yang dijual adalah luas total 2020 m2 itu. Ibu bisa naik haji, belikan motor ke adik-adik yang kuliah, lalu utang Bapak lunas.

Ibu pengen lakukan semua itu tapi tidak menginginkan semua tanahnya dikorbankan. Jreeng…!!

Saat-saat bingung itulah, suara Bapak mendatangi Ibu “Nek dodolan sacukupe wae, Bu!/ Kalau niat jualan, secukupnya saja, Ma.” Ibu lari ke Mushalla, shalat Dhulhur. Kaget. Gemreges. Sementara buku plus bolpoin yang dibuat ngitung harga serta luas tanah dan tali rafia yang digunakan mengecek kebenaran luas tanah di lapangan dengan angka di kertas pajak, masih berserakan.

Ibu dibantu Bapak mengerjakan PR jualan tanah ternyata. Terima kasih Bapak…..al-Fatihah!

Ada Saja Yang Datang Membantu

Ceria Anak Yatim Disantuni
Bapak itu orang yang baik, nerimo bagian yang terberi. Kalau disakiti, selalu bilang “ben jarke wae/ sudah, biarkan saja.” Karakter yang terkenanang di masyarakat, yang saya tahu memang demikian. Dulu, Bapak jarang mau menerima jatah beras miskin. Menurutnya, kalau kita punya beras, maka, orang lain yang sebetulnya lebih membutuhkan. Kalau kebetulan tidak ada beras, atas ijin Bapak, Ibu mengambil jatah beras itu.

Kebaikan-kebaikan terkenang itulah yang sepeninggal Bapak bisa dirasakan akibatnya oleh anak-anaknya, hingga kini. Utamanya lima Yatim adik saya. Bayangkan, berapa banyak kebutuhan yang harus ditangung Ibu atas 12 putra-putrinya. Tanpa bantuan orang lain, barangkali kami sekeluarga harus bekerja semua, meninggalkan masa-masa manis pendidikan sekolah dan perguruan tinggi.

Adik saya yang di perguruan tinggi ada tiga, Rohman, Rotun dan Umdah (IAIN Walisongo Semarang)  serta Ismah (UIN Suka Jogjakarta). Yang di pondok pesantren sambil sekolah ada dua orang, Minha (Ponpes Abah Zaki, Kajen, Pati) dan Rohim (Ponpes al-Anwar KH. Maimun Zubair, Sarang, Rembang). Ibu yang masih sibuk bekerja mengurus lima anak yatim di rumah, membesarkannya dengan penuh, jelas sulit memenuhi kebutuhan harian, apalagi kebutuhan pendidikan, tanpa bantuan orang lain. Itu berkat kebaikan Bapak selama hidup. Ternyata begitu.

Ibu selalu bercerita, di kala susah, tak punya tabungan uang saku buat adik-adik, tak punya beras cukup, ada saja yang tiba-tiba datang membantu. Siapa yang mengutus? Gusti Allah tentu. Yang datang membantu rata-rata adalah mereka yang dulu sering dibantu Bapak, entah pengusaha, pejabat, kerabat, atau bahkan pengemis sekalipun.

Tak tiap hari ada yang membantu. Hanya satu dua kali dalam seminggu. Yang pasti, menurut Ibu, waktu datangnya selalu pas. Kala jatah uang saku atau uang jajan buat kelima adik saya habis, ada saja yang menambah. Ada yang nitip buat adik yatim saya 20 ribu, 50 ribu hingga jutaan. Kebutuhan uang saku jelas besar. Bayangkan, tiap hari Ibu harus sedia minimal Rp. 15 ribu untuk sangu tiga adik yatim saya yang masih sekolah di tingkat dasar (Madrasah Ibtida’iyah), masing-masing Rp. 3.000,-.  Katakanlah, kebutuhan uang saku buat adik-adikku, ada sekitar Rp. 390.000 (Rp. 15.000 x 26 hari [sebulan dipotong libur 4 hari]).

Alhamdulillah, untuk kebutuhan uang saku, selama ini cukup. Saya yakin, Bapak masih ikut membantu keluarga. Kalau ada problem penting, selalu saja beliau hadir dalam mimpi, atau paling tidak, suara, yang tiba-tiba saja didengar ibu dengan baik.