 |
Almarhum Bapak |
Selasa siang, 4 Juni 2013, tiba-tiba saja Ibu menceritakan hal yang
belum pernah saya dengar sebelumnya. Seperti tergesa, dan ingin selesai bicara,
namun tercekat oleh keheranan dan ketidakpercayaan atas apa yang baru saja
dialami.
Ibu bercerita kalau tidurnya Selasa siang itu adalah tidur yang
memberkahi, barangkali. Apa pasal? Dalam keadaan setengah sadar dari tidur, Ibu
mendengar suara Bapak, sangat jelas terdengar di telinga: “Nek dodol an sacukupe wae, Bu!/ Kalau niat jualan, secukupnya saja, Ma.”
Ibu bergegas mengambil air wudlu, dan Shalat Dluhur. Keget. Secara,
tadi pagi Ibu barusan ngitung luas tanah harta patunggaeng (gono-gini) tinggalan Bapak yang hendak dijual. Atas
ijin rembug dengan saya tentu. Ibu kurang paham soal jual-beli tanah dan property.
Baru jualan pertama kali karena terpaksa. Ya kali ini.
Selasa pagi (4/6), saya sempat ke tanah yang hendak dijual itu,
bersama Ibu. Cuma terjadi kebingungan apakah nanti akan menjual utuh atau
separo. Kalau dijual utuh, luas tanahnya (LT) ada 2060 m2 (LD: 25,75 m2 dan LB:
80 m2) dalam bentuk pekarangan semua (tanaman: durian dan kayu jati). Mau
dijual berapa, juga bingung. Ibu ingin berangkat haji, karena sejak menikah dengan Bapak,
keinginan ibadah haji belum tersampaikan, padahal Bapak sudah tiga kali pergi
haji (1993, 1996, dan 2000). Dua haji terakhir diberangkatkan rombongan kloter
karena diminta jadi pembimbing haji di Makkah. Ibu tak pernah diajak, karena
tahu, biaya haji bukan dari kelebihan kekayaan Bapak. Kecuali yang pertama
(1993),yang terjadi karena Si Mbah (Nenek), keroyo-royo pengen naik haji
secepatanya.
Kini, setelah Bapak meninggal, niat ingin berangkat ke Baitullah
hampir menemui cita. Tanah itu harapannya. Kalau dijual setengah (LT: 1040 [LD:
13 x LB: 80]), maka hanya akan mendapatkan uang Rp. 57.200.000,- mengikuti
harga tanah sebelah yang dijual laku Rp. 40.000.000,- pada tiga tahun lalu
(2010) dengan luas 720 m2. Artinya, kala itu, harga tanah tersebut Rp.
55.000,-/m2. Dalam teori ilmu property, tanah akan mengalami kenaikan harga 10%
per tahun. Jika dijual, tanah sebelah yang dulu masih milik saudara itu sekarang harganya mencapai angka Rp. 72.000,-/m2, naik 10 persen. Bila
mengikuti asas dasar ini, tanah saya seluas 1040 m2 bisa dapat uang Rp.
74.880.000,-. Angka yang cukup besar
sebetulnya, namun untuk nyaur utang Bapak, yang pada malam sebelumnya sudah
kami hitung bersama Ibu dan adik, tidak cukup. Utang Bapak ada Rp. 68 juta,
cukup menutupilah hasil jualnya. Tapi bagaimana dengan biaya sertifikat tanah,
bagi waris kepada adik-adik saya, dan tentu, nasib cita Ibu naik haji? Rumit.
Saya masih ragu dengan harga tanah yang semurah itu, di dekat pabrik
soalnya. Rame. Akhirnya, saya minta Ibu untuk mencari tahu siapa tetangga yang
dalam tempo tak lama ini, menjual tanahnya. Yang berdekatan dengan lokasi tanah
tinggaln Bapak-Ibu. Ternyata ada tetangga yang setahun lalu menjual tanahnya
laku Rp. 50 juta/ 420 m2. Artinya, harga per meter tanah tahun lalu adalah Rp.
120.000,-. Harusnya, kalau harga itu saya naikkan 10 persen, paling tidak dapat
harga Rp. 132.000,-/m2. Bila angka itu dikalikan 1040 m2 luas tanah Ibu, maka
totalnya Rp. 137.280.000,-. Jumlah inilah yang diinginkan Ibu agar dodolan
tanah bisa dirasakan bersama dan mendapatkan tujuan kebaikan keluarga,
bersama-sama.
Kebingungan mengikuti harga tanah besebelahan yang jauh selisihnya
itulah yang membuat Ibu eman-eman melepas tanah milik satu-satunya. Saya bilang
ke Ibu: kalau Ibu pengen melunasi hutang-hutang Bapak saja, bisa jual separo
(Bila mengikuti harga tahun 2010). Tapi akan beda kasus kalau yang dijual
adalah luas total 2020 m2 itu. Ibu bisa naik haji, belikan motor ke adik-adik
yang kuliah, lalu utang Bapak lunas.
Ibu pengen lakukan semua itu tapi tidak menginginkan semua tanahnya
dikorbankan. Jreeng…!!
Saat-saat bingung itulah, suara Bapak mendatangi Ibu “Nek dodolan sacukupe wae, Bu!/ Kalau niat
jualan, secukupnya saja, Ma.” Ibu lari ke Mushalla, shalat Dhulhur. Kaget.
Gemreges. Sementara buku plus bolpoin yang dibuat ngitung harga serta luas
tanah dan tali rafia yang digunakan mengecek kebenaran luas tanah di lapangan
dengan angka di kertas pajak, masih berserakan.
Ibu dibantu Bapak mengerjakan PR jualan tanah ternyata. Terima kasih
Bapak…..al-Fatihah!